Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Nyata! Orangtua Sibuk Bekerja, Anak Merasa Hidupnya Hampa

Jika para orangtua ditanya, pasti ingin punya banyak waktu untuk bersama anak. Sayangnya, tuntutan ekonomi seringkali memaksa orangtua untuk banyak berurusan dengan pekerjaan dan meninggalkan anak. Akhirnya, cita-cita untuk banyak bersama anak hanya sebuah angan-angan yang sulit digapai. Bekerja adalah ibadah dan memang harus dilakukan oleh orangtua, akan tetapi jika pekerjaan menjadi sebab hubungan orangtua dengan anak semakin jauh, masihkah bisa dikatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan bernilai ibadah? Orang tua sibuk bekerja seringkali menjadi permasalahan dalam sebuah keluarga.

 

Para orangtua yang bekerja dan mengabaikan hak anak berdalih bahwa apa yang diperoleh untuk mencukupi kebutuhan anak. Betul memang, tapi anak juga punyak hak lainnya yaitu kebahagiaan untuk bermain bersama, belajar bersama, dan pergi piknik bersama. Sayangnya banyak orangtua yang di luar rumah sudah banyak berurusan dengan pekerjaannya, saat di rumah merasa sudah capek dan tidak ada waktu untuk membersamai anak.

 

Lalu, jika orangtua harus bekerja di luar kota dan bisa bertemu dengan anak-anaknya hanya seminggu sekali, sebulan sekali, 6 bulan sekali, bahkan 1 tahun sekali, apa yang harus dilakukan orangtua agar hak kebahagiaan anak tetap tercukupi? Orangtua perlu menjaga komunikasi dengan anak. Saat ini, dimana zaman teknologi berkembang begitu cepat bukan hal yang sulit untuk selalu berkomunikasi dengan anak. Hal yang paling penting lainnya yaitu orangtua harus senantiasa mendo’akan kebaikan anak di setiap sujudnya. Dengan seperti ini, maka bukan hal yang mustahil kedekatan emosional anatara seorang anak dengan orangtua akan terjalin dengan baik meskipun dipisahkan oleh jarak.

 

Suatu ketika, saat saya sedang mengajar kelas 6 sekolah dasar, terlihat seorang anak perempuan yang murung dan sedih. Tanpa melewatkan kesempatan ini, saat istirahat tiba saya hampiri anak tersebut. Saya ingin mengorek lebih jauh perihal apa yang sudah menjadikan anak tersebut begitu murung. Saya membuka pertanyaan “bapak boleh tahu kenapa kamu terlihat sedih nak?” belum juga menjawab pertanyaan yang saya ajukan, anak itu terlihat berkaca-kaca. Untuk menjaga privasi anak tersebut dan agar bisa bercerita bebas, saya meminta teman-temannya untuk pergi dan membiarkan kami ngobrol berdua.

 

Anak perempuan itu bercerita bahwa dia merasa hidupnya hampa dan sedih. Bukan karena kekurangan uang jajan, bukan juga karena keinginana-keinginannya untuk membeli sesuatu tidak terpenuhi. Ia terlahir dari orangtua yang berkecukupan. Kedua orangtuanya merupakan dokter sekaligus memiliki apotek. Ia mengutarakan bahwa hari-harinya banyak dialalui bersama pembantu yang ada di rumahnya. Bermain dan belajar banyak dengan pembantunya. Sementara, orangtuanya sibuk bekerja dan ketika sampai rumah sudah tidak banyak membersamai anak tersebut.

 

Mendengar cerita tersebut saya jadi merenung dan membayangkan betapa ruginya saat orangtua sudah mati-matian mencari penghidupan yang layak, tapi ternyata tidak menjadikan anak-anaknya semakin bahagia. Untuk menggerakkan roda kehidupan berumahtangga memang memerlukan harta benda, akan tetapi perlu untuk selalu diingat bahwa harat benda bukan segala-galanya. Anak merupakan harta dalam keluarga yang begitu mulia dan besar manfaatnya. Begitu besarnya karunia anak, banyak pasangan yang belum dikarunia anak rela mengeluarkan biaya banyak untuk berobat dan berkonsultasi ke ahli demi mendapatkan buah hati. Tidakkah kita bisa mengambil pelajaran dari fenomena ini?

 

Barangkali saat kita punya anak  tidak perlu bersusah-susah dan menunggu lama. Tapi bukan berarti hal ini menjadi alasan untuk tidak menjaga amanah anak yang sudah dititipkan Allah pada kita. Hasrusnya kita semakin bersyukur karena bisa memiliki anak tanpa bersusah-susah dan  mengeluarkan biaya banyak. Salah satu bentuk syukurnya yaitu dengan berusaha memenuhi hak anak dan tidak melukai hatinya.

 

Jika anak sudah terluka, merasa hidupnya hampa, dan tidak membutuhkan kehadiran kita sebagai orangtua, apakah kita tidak merasa bersedih? Untuk apa harta yang selama ini kita kumpulkan tetapi hidup anak menjadi berantakan? Dalam hal ini keseimbangan hidup memang perlu selalu ditanamkan. Kesibukan dalam memperoleh penghasilan dan kehdupan yang layak tidak boleh mengesampingkan pentingnya membersamai anak. Membersamai dalam arti hadir secara fisik dan jiwa.

 

Kalau anak sudah terlanjur terluka, mari kita segera perbanyak taubat dan memohon kepada Allah agar mengembalikan kecintaan anak pada orangtuanya. Orangtua juga harus senantiasa bersabar dan berusaha mendekati anak secara perlahan agar kembali mendapatkan kepercayaan dari anak. Bukan hal yang mudah memang, tapi jika dilakukan secara telaten maka Allah akan membukakan pintu maaf pada anak dan kembali mengangap bahwa orangtuanya adalah makhluk yang sangat berharga dan perlu dimuliakan. orangtua sibuk bekerja bukan lagi sebuah alasan untuk tidak dekat dengan anak.


Posting Komentar untuk "Kisah Nyata! Orangtua Sibuk Bekerja, Anak Merasa Hidupnya Hampa"